Pertanahan di Batam Rentan Konflik
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeron bersama Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi II DPR RI melakukan pertemuan dengan Wakil Wali Kota Batam, Badan Pengusahaan Batam, dan Kantor Pertanahan Kota Batam di Kantor Wali Kota Batam, Kepri.Foto :Husen/Rni
Persoalan tanah di Kota Batam, Kepulaun Riau, sangat rentan konflik. Selain banyak otoritas yang mengatur Batam, juga banyak tanah yang beralih kepemilikan dan fungsi, sehingga banyak konflik. Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeron, perlu ada penertiban administrasi pertanahan untuk menyelesaikan persoalan pertanahan di Batam.
“Akan banyak konflik tanah di Batam bila administrasi tidak dikelola dengan baik,” kata Herman saat memimpin pertemuan antara Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi II DPR RI dengan Wakil Wali Kota Batam, Badan Pengusahaan Batam, dan Kantor Pertanahan Kota Batam di Kantor Wali Kota Batam, Kepri, Selasa (09/10/2018).
Pengaturan tata ruang di Batam juga banyak menimbulkan konflik. Misalnya, kata legislator Partai Demokrat itu, alih fungsi lahan terutama kawasan hutan dan pertambangan. Di Pulau Rempang, Batam, dulu merupakan kawasan hutan konservasi. Lalu Menteri Kehutanan minta diturunkan statusnya jadi areal penggunaan lain (APL). Bahkan, di kawasan hutan konservasi banyak patok dibangun oleh perusahaan-perusahaan.
Sementara Wakil Wali Kota Batam Amsakar Ahmad berharap, perlu ada kebijakan tertentu dari pemerintah pusat untuk mengurai persoalan pertanahan di Batam. Penyelesaian pertanahan harus segera diselesaikan. Yang juga kerap menjadi persoalan adalah ada dua otoritas yang memiliki kewenangan di Batam, yaitu Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Batam.
“Ada dua tafsir tentang ini, Batam seperti kapal dengan dua nahkoda atau kapal dengan dua mesin. Bila ada dua nahkoda berarti ada rebutan arah ke mana kapal ini akan dibawa. Bila ada dua mesin berarti kapal ini bisa melaju dengan cepat. Sekarang tinggal bagaimana semua pihak melihat masalah ini,” kata Wakil Wali Kota Batam. (mh/sf)